BIOGRAFI

Lahir 09 Oktober 1975 di sebuah Gampong daerah pedalaman Kabupaten Pidie, berjarak lebih kurang 20 km dari Sigli (Ibukota Kapupaten), tepatnya di Gampong Lhok Empeh, Langga Kecamatan Sakti. Dilahirkan dari sebuah keluarga yang sangat sederhana, pasangan M. Hasan Ibrahim dan Rukoiyah M. Ali. Anak kedua dari delapan bersaudara ini di beri nama Hasnawi.

Nawie.. (panggilan sehari-hari), di usia yang masih belia, sudah bisa membaca dan menulis. Tahun 1980 di usia yang masih 5 tahun sudah belajar lembaga pendidikan formal yaitu SD Negeri Langga (mungkin karena tidak ada TK), sehingga membuat orang tuanya terpaksa harus menambah umur atau tahun kelahirannya agar dapat diterima disekolah dimaksud. Akhirnya Nawie kecil dan terkecil diantara teman-teman kelas 1 SD terdaftar sebagai siswa dengan tahun kelahiran 1974. Pada awal-awal mulia belajar, Nawie kecil mendapat panggilan Aneuk Kacoek (mungkin karena paling kecil) dari Guru-Guru. Tahun pertama sekolah Nawie tidak naik kelas (memang tidak dinaikkan kerena masih terlalu kecil dan belum cukup umur), namun pada tahun kedua walau masih duduk di kelas 1, Nawie selalu mendapat Ranking pertama hingga tamat pada tahun 1987.

Disamping sekolah di pagi hari, siang harinya Nawie juga belajar Mengaji di Mesjid Kemukiman, Nawie belajar mengaji di Mesjid tersebut hingga usia tamat SD, dan sudah bisa baca kitab Jawi (Jawoe), karena Nawie melanjudkan pendidikan tingkat lanjutan pertama di sebuah Pesantren Terpadu di Kecamatan yang lain namun masih dalam Kabupaten yang sama.

Tahun 1987, di usia 12 tahun, Nawie diterima (bebas test) di Madrasah Tsanawiyah Dayah Jeumala Amal Lueng Putu (Pesantren Modern Terpadu). mulai saat itu, Nawie tidak lagi tinggal bersama keluarga, Nawie mulai menjalani hidup ditempat dan lingkungan yang berbeda dari sebelumnya, jauh dari orang tua dan teman-teman yang lama. Nawie harus memulai memulai kehidupan dilingkungan baru dan beradaptasi dengan teman-teman baru juga.

Seperti kita ketahui bersama bahwa sistim pendidikan di Pesantren Terpadu ada pendidikan Umum dan Agama, dan juga dibarengi dengan pendikan-pendidikan ketrampilan. Maka sejak saat itulah Nawie dan juga teman-teman yang lain harus membagi waktu dengan sangat ketat, aktivitas pendidikan berjalan mulai dari jam 05.00 sampai dengan jam 22.00, kecuali hari Jum'at yang merupakan hari libur. Jam 05.00 pagi, kami semua harus bangun untuk melaksanakan Shalat Subuh berjama'ah dan kemudian dilanjutkan dengan pengajian (pendidikan Agama) sampai jam 07.00, kemudian dari jam 07.00 sampai jam 07.20 di isi dengan Senam Kesegaran Jasmani dan Gotong Royong membersihkan halaman Dayah, Jam 07.20 sampai dengan jam 08.00 adalah waktu untuk mandi dan sarapan pagi. Mulai jam 08.00 hingga jam 13.00 adalah waktu untuk belajar mata pelajaran umum (sekolah), kemudian selesai sekolah, dari jam 13.00 sampai jam 14.00 harus kami gunakan untuk shalat Dhuhur berjama'ah dan makan siang, kemudian pada jam 14.00 kami harus masuk lagi ke ruang kelas untuk belajar ketrampilan, praktek/les (istilah yang kami gunakan) baik untuk bahasa (Arab-Inggris) ataupun ketrampilan lainnya (biasanya jenis home industri), Jam 14.00 kami Shalat Ashar berjama'ah, kemidian setelah Shalat Ashar kembali lagi ke kelas untuk belajar ketrampilan sampai dengan jam 18.00. jam 18.00 sampai dengan jam 19.00 adalah waktu untuk mandi dan makan, kemudian Shalat Magrib berjama'ah, setelah Shalat Magrib kami kembali masuk kelas atau balai untuk mengikuti pengajian (belajar Kitab) sampai dengan masuknya waktu Isya, setelah Shalat Isya berjama'ah kami kembali melanjutkan pengajian sampai jam 22.00. Jam 22.00 sampai dengan jam 05.00 inilah waktu yang kami pergunakan untuk mengulang pelajaran, buat PR dan untuk istirahat.

Secara perlahan-lahan, sejak memulai hidup jauh dari orang tua, Nawie mulai merasakan makna dari persahabatan, senasib dan seperjuangan dalam menuntut ilmu. hari demi hari, bulan ke bulan dan tahun berganti tahun, kehidupan ini kami jalani dengan penuh kesabaran. Sampai akhirnya Nawie sendiri bisa menamatkan pendidikan di Dayah Jeumala Amal dari Madrasah Tsanawiyah hingga Madrasah Aliyah, atau dengan kata lain mampu bertahan selama enam (6) tahun, 3 tahun untuk Tsanawiyah dan 3 tahun untuk Aliyah.

Tahun 1993, berbekal Ijazah Madrasah Aliyah Dayah Jeumala Amal, Nawie mendaftarkan diri untuk bisa masuk Perguruan Tinggi, pada waktu itu Nawie memilih dan mendaftar di Institut Agama Islam Negri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh, dan Alhamdulillah Nawie lulus seleksi dan diterima di Jurusan Paradilan Islam Fakultas Syari'ah. Berbekal pendidikan Agama dan Umum di Dayah Jeumala Amal, tidak ada kendala yang berarti bagi Nawie dalam mengikuti setiap mata kuliah di tempat Nawie kuliah. Namun memasuki Semester ketiga, entah bisikan dari mana atau dorongan apa yang hinggap dipikiran Nawie, yang walaupun bukan dibilang benci dan anti, tapi Nawie sudah tidak suka dengan yang namanya Pegawai Negri dan pada waktu Nawie sendiri berprinsip untuk tidak masuk dalam yang namanya Pegawai Negri, sehingga di awal-awal semester empat kuliah Nawie di IAIN, Nawie Keluar alias cabut dengan alasan dan pikiran Nawie waktu itu adalah: "tidak bisa membangun atau mengembangkan usaha (kerja) sesuai dengan disiplin ilmu kalau bukan melalui jalur Pegawai Negri".

Setelah nganggur hampir satu semester, tahun 1995 Nawie mendaftar dan diterima di Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Abulyata (sebuah Universitas Swasta di Aceh), Nawie punya harapan besar bisa berbuat dan berkreasi melaui Teknik kimia ini, dan ternyata keberuntungan memang tidak berpihak kepada Nawie, lagi-lagi memasuki semester kedua ternyata mahasiswa seleting dan sejurusan yang pada semester pertama ada 20 orang, semester kedua hanya tinggal 4 orang (sebagian besar diantaranya yang merupakan lulusan Sekolah Menengah Teknik Industri (SMTI) mendapat panggilan kerja). Pada semester dua ini, mungkin karena mahasiswanya sangat sedikit, sehingga Dosennyapun jarang masuk dan kamipun sering kali harus pergi ke Unsyiah yang jaraknya cukup lumanyan untuk bisa belajar karena Dosennya enggan datang ke Abulyatama. Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi Nawie, memasuki semester ketiga tahun 1996, dengan alasan tidak ada Mahasiswa dan harus belajar ditempat lain, Nawie mengusulkan untuk pindah Jurusan yaitu ke Jurusan Sipil, dan diterima, maka lagi-lagi Nawie harus memulai dari awal, kecuali untuk beberapa mata kulaih yang sama.

Tahun 1997, Nawie mulai ikut dalam aksi-aksi demontrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dengan fokus isue reformasi, tahun 1998, Nawie bergabung dengan Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) yang merupakan organisasi perkumpulan mahasiswa seluruh Aceh, Organisasi yang melahirkan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) untuk urusan Politik, Posko Peuduli Mahasiswa dan Rakyat Keu Aceh (PEMRAKA) untuk urusan Kemanusiaan dan beberapa lembaga besar lainnya.

Sejak tahun 1999, setelah terbentuknya PEMRAKA sebagai lembaga mahasiswa yang menangani persoalan kemanusiaan yang mempunyai Koordinator Wilayah (Korwil) hampir seluruh Kabupaten di Aceh, Nawie yang waktu itu menjadi salah seorang Relawan mulai jarang ke Kampus, dan lebih memilih berada bersama pengungsi di camp-camp pengungsian bersama relawan PEMRAKA yang lain untuk mendampingi dan mengadvokasi pengungsi yang tersebar di beberapa titik pada waktu itu, sehingga kuliah terlantar, paling hanya ikut ujian final saja. kemudian di tahun 2000, Nawie yang dipercayakan oleh teman-teman PEMRAKA menjadi Staf Bidang Pelayanan Korban Tindak Kekerasan, semakin jarang nampak di kampus dan pada tahun itu pula nawie mengurus non aktif untuk kuliah, aktivitas nawie bersama teman-teman PEMRAKA lainnya yang umumnya dari Mahasiswa Kesehatan lebih banyak di Rumah Sakit untuk mendampingi dan mengadvokasi korban-korban penembakan dan penganiayaan dan juga turun kedaerah-daerah untuk mendampingi dan mengadvokasi pengungsi yang berada di camp-camp pengungsian.

Tahun 2001, Nawie dipercayakan teman-teman menjadi Wakil Koordinator Bidang Pelayanan Korban Tindak Kekerasan, benar benar tidak lagi pernah terlihat di kampus, sementara aktivitas yang dilakukan adalah mendampingi dan mengadvokasi korban penembakan dan penganiayaan di Rumah Sakit, sesekali waktu juga melakukan penjemputan korban ke daerah-daerah karena Korwil-Korwil PEMRAKA yang ada didaerah-daerah terpaksa tutup dan ditutup oleh situasi keamanan saat itu.

Di awal tahun 2002, oleh teman PEMRAKA mempercayakan Nawie menjadi Koordinator Pusat Posko PEMRAKA, dan otomatis tanggung jawab Nawie semakin besar, dimana pada tahun 2002 atau mulai akhir 2001 merupakan awal mulai sulitnya pergerakan mahasiswa untuk bergerak bebas seperti tahun-sebalumnya, dan disisi lain PEMRAKA juga menjadikan Sekretariat sebagai tempat penampungan korban-korban yang masih memerlukan perawatan.

Pada tahun 2003, dimana Aceh diterapkan Darurat Militer (DM), banyak aktivis-aktivis pergerakan di Aceh yang melakukan eksodus ke Jakarta dan luar negri, lembaga-lembaga pergerakan tutup, PEMRAKA tetap melakukan aktivitas kemanusiaannya walau dalam kapasitas yang lebih kecil dan sembunyi-sembunyi (rahasia), padahal PEMRAKA juga merupakan salah satu organisasi yang dijadikan target operasi militer pada saat itu diantara sekian banyak target operasi militer selain GAM, namun berkat do'a-do'a orang teraniaya dan kerja keras kita semua, PEMRAKA masih bisa menangani korban-korban penembakan dan penganiayaan sampai Juli 2004 (Darurat Militer tahap 2).

Bulan Agutus 2004, tepatnya tanggal 6 Agustustus 2004, jam 23.00 Wib, Posko PEMRAKA di grebek oleh Gabungan Gegana dan Polreta Banda Aceh, kami yang pada malam itu ada 11 orang yang terdiri dari 2 orang pengurus posko (Nawie dan Farizal), 3 orang korban korban penembakan yang masih menjalani perawatan (rawat jalan), 3 orang korban penganiayaan yang sedang menjalani perawatan (rawat jalan) dan 2 orang perempuan yang merupakan keluarga korban beserta dengan seorang bocah laki-laki yatim korban konflik. Kesemua kami (kecuali 2 perempuan dan satu anak kecil tadi) dengan tangan diikat kebelakang lalu dinaikkan ke mobil dan dibawa ke Polresta Banda Aceh. Sesampainya di Polresta, kami semua diturunkan dari mobil, kemudian Nawie dipanggil dan dibawa ketempat lain yang agak berjauhan dari teman-teman tadi, sejurus kemudian Nawie langsung menjalani introgasi massa oleh (kira-kira 12 sampai dengan 15 orang Polisi) dan menerima hadiyah tamparan, tonjokan, tendangan dan juga popor senjata, hadiah-hadiah tersebut menimpa dari depan dan belakang Nawie, mulai perut, dada, punggung, muka dan kepala Nawie. setelah proses interogasi massa tadi, Nawie di bawa ke Sel Tahanan, sesampai disel tahanan Nawie baru tahu kalau baju yang Nawie pakai sebelah depannya telah basah dengan darah yang keluar dari hidung Nawie sendiri, dan tau (setelah dikasih tau teman-teman yang lain) kalau wajah Nawie sudah bengkak-bengkak, namun Alhamdulillah tidak ada rasa sakit yang mendera Nawie saat itu. Minggu pertama berada di Polresta, kami sangat sering dipanggil untuk proses introgasi, terutama sekali Nawie selaku Koordinator PEMRAKA, bisa dibayangkan apa yang menimpa Nawie saat proses introgasi berlangsung..... Setelah menjalani proses introgasi sampai selesainya BAP, alhasil atas usaha-usaha yang dilakukan oleh kawan-kawan yang sempat hijrah ke Jakarta sebelumnya bersama dan beberapa kawan yang di Aceh, Alhamdulillah.. pada tanggal 18 Agustus 2008 Nawie dan Farizal (yang lainnya bebas sebelumnya) dikeluarkan dari Polresta dengan status tahanan luar dan wajib lapor seminggu 2 kali pada senin dan kamis, sebulan kemudian menjadi seminggu sekali pada senin saja. Selama menjadi tahanan luar, Nawie dan Farizal pernah dipanggil lagi untuk melengkapi BAP, ternyata P21 kami dikembalikan oleh Kejaksaan untuk dilengkapi.

Sambil menunggu proses persidangan, Nawie dengan seorang merintis usaha kecil-kecilan yaitu jualan Roti Cane di pinggir jalan sekitar simpang lima Banda Aceh, yang kemudian terkenal dengan Roti Cane ABU NEK.

Sampai Tsunami melanda Aceh pada 24 Desember 2004, Nawie tidak pernah dipanggil untuk persidangan, setelah tsunami Nawie sempat bergabung dengan sebuah NGO lokal yang bekerja untuk kawasan Aceh Jaya dan sempat 2 bulan dengan sebuah Konsultan Nasional yang melakukan kegiatan Village Planning untuk Banda Aceh dan Aceh besar.

Pertengahan 2005, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) Wilayah Pidie meminta Nawie untuk pulang ke Pidie, atas keputusan KPA Wilayah Beliau menempatkan Nawie sebagai salah seorang Anggota Perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk Aceh Monitoring Mission (AMM) Distric Pidie. November 2007, Nawie kembali ke Banda Aceh, disamping melakukan kegiatan di Roti Cane Abu Nek, Nawie juga dipercayakan menjadi Koordinator Sekretariat Program pada Unit Pelaksana Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Korban Konflik Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRA) Provinsi NAD sampai dengan Juni 2008. Juli 2008 sampai dengan sekarang Nawie dipercayakan menjadi Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai ACEH Kabupaten Pidie.